Makalah
Sejarah peradaban islam
Sejarah peradaban islam pada masa abbasyiah
Mata kuliah sejarah peradaban islam
Disusun oleh
Kelompok 4
Pandu Wahyu Perdana
|
1502090166
|
Siti Nasrifah
|
1502090095
|
Siti Eka Wahyuni
|
1502090178
|
Program study Hukum Ekonomi Syariah
Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Jurai Siwo Metro
2015
Kata pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih
lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya,
yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah sejarah peradaban islam tentang peradaban islam pada masa abbasyiah
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Terlepas dari
semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah sejarah peradaban islam tentang peradaban islam pada masa abbasyiah dapat bermanfaat untuk masyarakat ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
metro, september 2015
Akhir kata kami berharap semoga makalah sejarah peradaban islam tentang peradaban islam pada masa abbasyiah dapat bermanfaat untuk masyarakat ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
metro, september 2015
penulis
Daftar Isi
kata pengatar
daftar isi
bab I pendahuluan
a.
Latar belakang
b.
Rumusan masalah
c.
Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
a. Sejarah
Abassiyyah
b. Masa
Disentegrasi
c. Sebab
–sebab kemunduran pemerintah bani abassiyah
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peradaban
islam mengalami puncak kejayaan pada masa daulah Abbasiyah. Perkembangan ilmu
pengetahuan sangat maju yang diawali dengan penerjemahan naskah asing terutama
yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, pendirian pusat pengembangan ilmu
dan perpustakaan dan terbentuknya mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai
buah dari kebebasan berfikir. Dinasti
Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam mengembangkan
peradaban Islam. Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada
masa pemerintahan dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
sejarah berdirinya bani Abbasiyah?
2.
Bagaimana
perkembangan ilmu pengetahuan, bidang pemerintahan, bidang ekonomi dan
lain-lain pada bani Abbasiyah?
3.
Apa-apa saja yang terjadi pada masa disintegrasi?
1.3 Tujuan
1.
Untuk
mengetahui sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah
2.
Untuk
mengetahui perkembangan ilmu dan ilmuwan yang berpengaruh pada masa dinasti
Abbasiyah
3.
Untuk
mengetahui perkembangan-perkembangan yang sangat menonjol pada bani abbasiyah?
4.
Untuk
mengetahui lebih banyak tentang hal-hal yang terjadi pada masa disintegrasi?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Berdiri Khilafah Bani Abbasiyah Dan Puncak
Keemasaannya
Di antara
yang mempengaruhi berdirinya khilafah bani Abbasiyah adalah terdapatnya
beberapa kelompok umat yang sudah tidak mendukung kekuasaan imperium bani
Umayah yang notabenenya korupsi, sekuler dan memihak sebagian kelompok
diantaranya adalah kelompok Syiah dan Khawarij serta
kaum Mawali yaitu orang-orang yang baru masuk islam yang mayoritas dari Persi.
Mereka merasa di perlakukan tidak setara dengan kelompok Arab karena pembebanan
pajak yang terlalu tinggi kelompok ini lah yang mendukung revolusi Abbasiyah
Kekuasaan
bani Abassiyah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang berkisar
tahun 132 H sampai 656 H (750 M-1258 M) yang dibagi menjadi 5 periode :
1.
Periode
pertama (132 H/750 M- 232 H/847 M). Di sebut periode pengaruh Persia pertama.
2.
Periode kedua (232 H/847 M- 334 H/945
M). Di sebut masa pengaruh Turki pertama.
3.
Periode ke tiga (334 H/ 945 M – 447
H/1055 M). Masa kekuasaan dinasti Buwaih atau pengaruh Persia kedua.
4.
Periode ke empat (447 H/1055 M – 590
H/1194 M). Merupakan kekuasaan dinasti bani Saljuk dalam pemerintahan atau
pengaruh Turki dua.
5.
Periode ke lima (590 H/1194 M – 565
H/1258 M). Merupakan masa mendekati kemunduran dalam sejarah peradaban islam.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya.
Secara politis, para khalifah betul-betul
tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di
sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga
berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun
dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M.
Selanjutnya digantikan oleh Abu
Ja'far al-Manshur (754-775
M), yang keras menghadapi lawan-lawannya terutama dari Bani
Umayyah, Khawarij, dan juga Syi'ah.
memerintahkan Abu
Muslim al-Khurasani melakukannya,
dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M, karena
dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru
berdiri itu, al-Mansyur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru
dibangunnya, Baghdad, dekat
bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas
berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban
pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam lembaga eksekutif dan
yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan
mengangkat Wazir sebagai koordinator dari kementrian yang ada, Wazir pertama yang diangkat
adalah Khalid
bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan
kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad
ibn Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga
kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah
ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekadar untuk
mengantar surat. Pada masa al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun
seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat
berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku
gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan
diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di
antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan
Taurus dan mendekati selat
Bosphorus. Di pihak lain, dia berdamai
dengan kaisar Constantine
V dan selama gencatan senjata
758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki
Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oxus, dan India.
“
|
Innama anii Sulthan Allah fi
ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)
|
”
|
Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke
generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekadar pelanjut Nabi sebagaimana pada
masa al- Khulafa' al-Rasyiduun. Di samping itu, berbeda dari daulat Bani
Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah
memakai "gelar takhta", seperti al-Manshur, dan belakangan gelar
takhta ini lebih populer daripada nama yang sebenarnya
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun
oleh Abu al-Abbas as-Saffah dan al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti
ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775- 786
M), Harun Ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa al-Mahdi
perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui
irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan
besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa
kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun
Ar-Rasyid Rahimahullah (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk
keperluan sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan
farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di
samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial,
kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan
berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Al-Ma'mun, pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta
kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing
digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli (wa laa haula wa laa quwwata illaa
billaah). Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang
terpenting adalah pembangunan Baitul-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi
sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma'mun inilah Baghdad mulai
menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu'tasim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang
Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi
prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani
Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode ini banyak
tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan
Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan
sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindiq di Persia, gerakan Syi'ah, dan
konflik antarbangsa dan aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat dipadamkan.
Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani
Umayyah. Di samping itu, ada pula
ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbas yang tak terdapat di zaman Bani Umayyah.
1.
Dengan
berpindahnya ibu kota ke Baghdad,
pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab Islam. Sedangkan dinasti Bani
Umayyah sangat berorientasi kepada Arab Islam. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh
kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.
2.
Dalam penyelenggaraan
negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala
departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani
Umayyah.
3.
Ketentaraan
profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum
ada tentara khusus yang profesional.
Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran
Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti
seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di
antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan,
misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu,
lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:
1.
Maktab/Kuttab
dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar
bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu
agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
2.
Tingkat
pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar
daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya
masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama.
Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama
bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di
rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas,
dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih
merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana
orang juga dapat membaca, menulis, dan berdiskusi. Perkembangan lembaga
pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa
Arab, baik sebagai bahasa
administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani
Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu
pengetahuan. Di samping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh
dua hal, yaitu:
1.
Terjadinya
asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam
bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa
non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi
berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham
tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Di
samping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat,
dan sastra. Pengaruh India terlihat
dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama
filsafat.
2.
Gerakan
terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah
al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan
adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung
mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam
bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H,
terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan
semakin melua
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui
gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan
umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah
dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma'tsur, yaitu
interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode rasional
yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits dan
pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan
Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra'yi,
(tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan
ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama
dalam ilmu teologi.
Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat memengaruhi perkembangan dua
bidang ilmu tersebut.
Imam-imam madzhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah
pertama. Imam Abu Hanifah Rahimahullah (700-767 M) dalam
pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih
tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional
daripada hadits. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman Harun
Ar-Rasyid. Berbeda dengan Imam
Abu Hanifah, Imam
Malik Rahimahullah (713-795 M) banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat
Madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam
Syafi'i Rahimahullah (767-820 M), dan Imam
Ahmad ibn Hanbal Rahimahullah (780-855 M) yang mengembalikan sistem madzhab dan pendapat akal
semata kepada hadits Nabi serta memerintahkan para muridnya untuk berpegang
kepada hadits Nabi serta pemahaman para sahabat Nabi. Hal ini mereka lakukan
untuk menjaga dan memurnikan ajaran Islam dari kebudayaan serta adat istiadat orang-orang non-Arab. Di samping empat
pendiri madzhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak para
mujtahid lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan
madzhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran
dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran sesat yang sudah ada pada masa Bani
Umayyah, seperti Khawarij, Murji'ah dan Mu'tazilah pun ada. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi
rasional Mu'tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya
yang lebih kompleks dan sempurna baru mereka rumuskan pada masa pemerintahan
Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran filsafat dan rasionalisme dalam Islam. Tokoh
perumus pemikiran Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu
al-Huzail al-Allaf (135-235
H/752-849M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-835M). Asy'ariyah, aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali
terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena Al-Asy'ari sebelumnya
adalah pengikut Mu'tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra.
Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama
disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan
para pencari dan penulis hadits bekerja.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan
umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi
terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Farghani, yang dikenal di Eropa dengan nama
Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin oleh Gerard
Cremona dan Johannes
Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran
dikenal nama ar-Razi dan Ibnu
Sina. Ar-Razi adalah tokoh pertama
yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles.Dia juga orang pertama
yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan
berada di tangan Ibn Sina. Ibnu
Sina yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di antara karyanya
adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran
paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optikal Abu Ali
al-Hasan ibn al-Haitsami, yang di
Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal
sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang
dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang
mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir
ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam
seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan
mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama Muhammad
ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga
mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata aljabar berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa
al-Muqoibalah. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas'udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Di antara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan,
etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat, yang terkenal di
antaranya ialah asy-Syifa'. Ibnu Rusyd yang di Barat lebih dikenal
dengan nama Averroes, banyak
berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran
yang disebut dengan Averroisme. Pada masa kekhalifahan ini, dunia Islam mengalami peningkatan
besar-besaran di bidang ilmu pengetahuan. Salah satu inovasi besar pada masa
ini adalah diterjemahkannya karya-karya di bidang pengetahuan, sastra, dan filosofi dari Yunani, Persia, dan Hindustan.
Banyak golongan pemikir lahir zaman ini, banyak di antara mereka bukan
Islam dan bukan Arab Muslim. Mereka ini memainkan peranan yang penting dalam menterjemahkan dan
mengembangkan karya Kesusasteraan
Yunani dan Hindu, dan ilmu zaman pra-Islam kepada masyarakat Kristen Eropa. Sumbangan mereka ini menyebabkan seorang ahli filsafat Yunani yaitu
Aristoteles terkenal di Eropa. Tambahan pula, pada zaman ini menyaksikan
penemuan ilmu geografi, matematika, dan astronomi seperti Euclid dan
Claudius Ptolemy. Ilmu-ilmu ini kemudiannya diperbaiki lagi oleh beberapa tokoh Islam
seperti Al-Biruni dan sebagainya.
2.2 Masa Disintegrasi (1000 – 1250 M)
1.
Dinasti-Dinasti yang Memerdekakan Diri Dari
Baghdad.
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir
zaman bani Umayyah. Akan terlihat perbedaan antara pemerintahan bani Umayyah
dengan pemerinatahan bani Abbas. Wilayah kekuasaan bani Umayyah, mulai dari
awal berdirinya sampai masa keruntuhanya, sejajar dengan batas wilayah
kekuasaan Islam. Ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiah sudah cukup puas
dengan pengakuan nominal dari propinsi-propinsi tertentu. Dengan pembiayaan
upeti. Alasanya, pertama mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat
mereka tunduk kepadanya, kedua, penguasa bani Abbas lebih menitik beratkan
pembinaan peradaban dan kebudayaan dari pada politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pada pembinaan peradaban
dan kebudayaan Islam dari pada persoalan politik itu, propinsi-propinsi
tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa bani Abbas, dengan
berbagai cara diantaranya pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin lokal dan
mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti daulah Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko. Seseorang yang ditunjuk menjadi
gubernur oleh kholifah, kedudukanya semakin bertambah kuat, seperti daulah
Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyah di Khurasan.
Kecuali bani Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko, propinsi-propinsi
itu pada mulanya patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil
dan khalifah mampu mengatasi pergolakan yang muncul. Namun, saat wibawa
khalifah sudah memudar mereka melepaskan diri dari Baghdad. Mereka tidak hanya
menggerogogoti kekuasaan, bahkan diantara mereka ada yang berusaha mengusai
kholifah itu sendiri.
Menurut Watt, sebenarnya keruntuhan kekuasaan bani Abbas mulai terlihat
sejak awal abad kesembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya
pemimpin-pimimpin yang memiliki kekuasaan militer di propinsi-propinsi tertentu
yang membuat mereka benar-benar independen.
Dinasti dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada
masa khalifah Abbasyiah, diantaranya adalah :
a)
Yang berbangsa Persia
:
a.
Thahiriyah di
Khurasan (205-259 H/820-872 M)
b.
Shafariyah di
Fars (254-290 H/868-901 M)
c.
Samaniyah di
Transoxania (261-289 H/873-998 M)
d.
Sajiyyah di
Azerbeijan (266-318 H/878-930 M)
e.
Buwaihiyah
bahkan menguasai Baghdad (320-447 H / 932-1055 M)
b)
Yang berbangsa
Turki
a.
Thuluniyah di
Mesir (254-292 H/837-903 M)
b.
Ikhsyidiyahdi
Turkistan (320-560 H/932-1163 M)
c.
Ghazanawiyah di
Afganistan (351-585 H/962-1189 M)
d.
Dinasti
Seljuk dan cabang-cabangnya
c)
Seljuk besar
atau Seljuk agung (429-522 H/1037-1127 M)
d)
Seljuk Kirman
di Kirman (433-583 H/1040-1187 M)
e)
Seljuk Syiria
atau Syam di Syiria (487-511 H/1094-1117 M)
f)
Seljuk Irak di
Irak dan Kurdistan (511-590 H/1117-1194 M)
g)
Seljuk Rum
atau Asia kecil di Asia kecil (470-700 H/1077-1299 M)
h)
Yang berbangsa
Kurdi
a.
Al Barzuqani (348-406
H/959-1015 M)
b.
Abu Ali
((380-489 H/990-1095 M)
c.
Ayubiyah (564-
648 H/1167-1250 M)
i)
Yang berbangsa
Arab
a.
Idrisiyah di
maroko (172-375 H/788-985 M)
b.
Aghlabiyah
di Tunisia (184-289 H/800-900 M)
c.
Dulafiyah di
Kurdistan (210-285 H/825-898 M)
j)
Yang mengaku
dirinya sebagai kholifah
a.
Umawiyah di
spanyol
b.
Fathimiyah
di mesir
2. Perebutan Kekuasaan Di Pusat Pemerintahan
Faktor lain yang menyebabkan peran politik bani Abbas menurun adalah
perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada
pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Nabi Muhammad memang tidak
menentukan bagaiman acara penggantian pemimpin setelah ditinggalkanya. Beliau
menyerahkan masalah ini kepada kaum muslimin sejalan dengan jiwa kerakyatan
yangberkembang dikalangan masyarakat Arab dan ajaran demokrasi dalam Islam.
Setelah nabi wafat, terjadi pertentangan pendapat diantara kaum muhajirin dan
anshar dibalai kota bani Sa’idah di madinah. Akan tetapi, karena pemahaman
keagaamaan mereka yang baik, semangat musyawarah, ukhuwah yang tinggi,
perbedaan itu dapat diselesaikan. dan Abu Bakar terpilih menjadi khalifah.
Pertumpahan darah pertama dalam Islam karena perebutan kekuasaan terjadi
pada masa kekhalifahan Ali bin abi thalib. Ali terbunuh oleh bekas pengikutnya
sendiri.
Pemberontakan-pemberontakan yang muncul pada masa Ali ini bertujuan untuk menjatuhkanya dari kursi khalifah dan diganti oleh pemimpin pemberontak itu. Hal ini sama juga terjadi pada masa kekhalifahan bani Umayyah di Damaskus. Seperti pemberontakan Husein bin Ali, syi’ah yang dipimpin oleh Ali Muchtar.
Pemberontakan-pemberontakan yang muncul pada masa Ali ini bertujuan untuk menjatuhkanya dari kursi khalifah dan diganti oleh pemimpin pemberontak itu. Hal ini sama juga terjadi pada masa kekhalifahan bani Umayyah di Damaskus. Seperti pemberontakan Husein bin Ali, syi’ah yang dipimpin oleh Ali Muchtar.
Pada pemerintahan bani Abbas, perebutan kekuasaan seperti itu juga terjadi,
terutama di awal berdirinya. Ditangan tentara Turkilah khalifah bagaikan boneka
yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan
khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di
tanagn orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334 H/945
M-447 H/1055 M), Daulah Abbasyiah berada dibawah kekuasaan bani Buwaih.
Kelahiran bani Buwaih berawal dari tiga orang putra Abu Syuja’ Buwaih,
pencari ikan yang tinggal di daerah Dailam, yaitu Ali, Hasan dan Ahmad. Untuk
keluar dari kemiskinan, tiga bersaudara ini memasuki dinas militer yang ketika
itu dipandang banyak mendatangkan rizki. Keadaan khalifah lebih buruk dari pada
masa sebelumnya, terutama karena bani Buwaih adalah penganut aliran Syi’ah,
sementara bani Abbas adalah Sunni. Selama masa kekuasaan bani Buwaih sering
terjadi kerusuhan antara kelompok Ahlus sunnah dan Syi’ah, pemberontakan
tentara tersebut.
Setelah Baghdad dikuasai, bani Buwaih memindahkan markaz kekuasaan dari
Syiraz ke Baghdad. Mereka membangun gedung tersendiri di tengah kota bernama
Dar Al Mamlakah. Tetapi, kendali politik berada di Syiraz, tempat Ali bin
Buwaih (saudara tertua) bertahta. Para pegnguasa bani Buwaih mencurahkan
perhatian secara langsung dan sungguh-sungguh terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan dan kesusteraan.
Kekuasaan politik bani Buwaih tidak lama bertahan. Setelah generasi pertama,
tiga saudara tersebut. Kekuasaan menjadi ajang pertikaian di antara anak-anak
mereka. Masing-masing merasa paling berhak atas kekuasaan pusat.
Faktor-faktor yang membawa kemunduran dan kehancuran bani Buwaih yaitu :
1.
Faktor internal
Perebutan
kekuasaan di kalangan keturunan dan Pertentangan dalam tubuh militer
2.
Faktor eksternal
Semakin gencarnya serangan-serangan Bizantium ke dunia Islam. Semakin
banyaknya dinasti-dinasti kecil yang membebaskan diri dari kekuasaan Baghdad.
Dinasti Seljuk berhasil merebut keuasaan dari bani Buwaih . jatuhnya
kekuasaan bani Buwaih kedatangan Seljuk bermula dari perebutan kekuasaan di
dalam negeri. Dinasti Seljuk berasal dari beberapa kabilah kecil rumpun suku
Ghuz di wilayah Turkistan. Setelah Seljuk meninggal, kepemimpinana di lanjutkan
oleh anaknya, Israil. Namun Israil dan Mikail, penggantinya ditangkap oleh
penguasa Ghaznawiyah. Kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Thugrul bek.
Posisi dan kedudukan khalifah lebih baik setelah dinasti Seljuk berkuasa.
Kewibawaan dalam bidang agama di kembalikan setelah beberapa lama dirampas
orang-orang Syi’ah. Bukan hanya pembangunana mental spiritual, dalam
pembangunan fisik pun dinasti Seljuk banyak meninggalkan jasa. Seperti masjid,
jembatan, irigasi, jalan raya.
Setelah Maliksyah dan perdana menteri Nizham Al Mulk wafat Seljuk besar
mulai mengalami masa kemunduran di bidang politik. Perebutan kekuasaan dianatar
anggota keluarga, setiap propinsi berusaha melepaskan diir dari pusat,
konflik-konflik da peperangan antar anggota keluarga.
3.Perang Salib
Perang Salib (perang suci) ini terjadi pada tahun 1905, saat Paus Urbanus
II berseru kepada Umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk
memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh
Penguasa Seljuk yang menetapkan beberapa peraturan yang memberatkan bagi Umat
kristen yang hendak berziarah ke sana.
Sebagaimana telah disebutkan, peristiwa penting dalam gerakan ekspansi yang
dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa Manzikart, tahun 464 H (1071 M).
Tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini
berhasi1 mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang, terdiri dari
tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Peristiwa besar
ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat
Islam, yang kemudian mencetuskan Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah
dinasti Seljuk dapat merebut Bait al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan
dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk menetapkan
beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan
itu dirasakan sangat menyulitkan mereka. Untuk memperoleh kembali keleluasaan
berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru
kepada umat Kristen di Eropa supaya melakukan perang SUCI. Perang ini kemudian
dikenal dengan nama Perang Salib, yang terjadi dalam tiga periode.
1.
Periode
Pertama
Pada musim semi tahun 1095 M; 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa
Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina.
Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh
kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea
dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan kerajaan
Latin I dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat
menguasai Antiochea dan mendirikan kerajaan latin II di Timur. Bohemond
dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Bait al-Maqdis (15
Juli 1099 M.) dan mendirikan kerajaan Latin III dengan rajanya, Godfrey.
Setelah penaklukan Bait al-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya.
Mereka menguasai kota Akka (1104 M.), Tripoli (1109 M.) dan kota Tyre (1124
M.). Di Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV, Rajanya adalah Raymond.
2.Periode Kedua
Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali
Aleppo, Hamimah, dan Edessa pada tahun 1144 M. Namun ia wafat tahun 1146 M.
Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Numuddin Zanki. Numuddin berhasil merebut
kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat
direbut kembali.
Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang
Salib kedua. Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif
oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin
pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju
mereka dihambat oleh Numuddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus.
Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Numuddin
wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalahuddin
al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M.
Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerussalem
pada tahun 1187 M. Dengan demikian kerajaan latin di Yerussalem yang
berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara
salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara salib dipimpin
oleh Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard the Lion Hart, raja Inggris,
dan Philip Augustus, raja Perancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M.
Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil
merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Akan tetapi
mereka tidak berhasil memasuki Palestina. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M,
dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan
Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang
pergi berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.
3.Periode Ketiga
Tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II.
Kali ini mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina,
dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Pada tahun 1219
M, mereka berhasil menduduki Dimyat. Raja Mesir dari dinasti Ayyubiyah waktu
itu, al- Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara
lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara al- Malik al-Kamil
melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick
tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya,
Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa
pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika Mesir
dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan posisi dinasti Ayyubiyah,
pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka
dapat direbut kembali oleh kaum muslimin, tahun 1291 M. Demikianlah Perang
Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol,
sampai umat Islam terusir dari sana.
4.Sebab Sebab Kemunduran Pemerintahan Bani Abbas
Sebagai mana terlihat dalam periodesasi khilafah Abbasyiah , masa
kemunduran dimuilai sejak periode kedua, namun demikian faktor-faktor penyebab
kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat
pada periode pertama, hanya khalifah pada periode itu sangat kuat, benih-benih
itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Abbas terlihat bahwa
apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai
sipil.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta
: PT. Al Husna Zikra, 1995, hlm. 175.
Dr. Badri Yatim M.A, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 2008, hlm. 49-50.
Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah Peradaban Islam 3, Jakarta : PT. Al
Husna Zikra, 1997, hlm. 107.
Drs. H. Syamruddin Nst, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, Riau : Badan
Penelitian dan Pengembangan Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau, 2007,
hlm. 83.
Dr,. Badri Yatim, M.A, op cit, hlm.
55-56.
Ibid. 56-57.
Dr. H. Syamruddin Nst, M.Ag, op
cit, hlm. 90.
Ibid. hlm. 95.
]Dr. Badri Yatim, op cit, hlm.
65-66.
Belum ada tanggapan untuk "Sejarah Berdiri Khilafah Bani Abbasiyah Dan Puncak Keemasaannya"
Post a Comment